Hutan perawan sebagaimana di uraikan di atas dengan kerapatan utuh 100 persen maka sinar matahari tidak dapat menembus ke bawah sehingga daun-daun lapuk selalu basah walau di musim kemarau sekalipun sehingga tidak mudah dilalap api. Jika hutan itu terbuka dalam hamparan yang luas seperti pasca eksploitasi HPH, dengan kerapatan dibawah 50 persen maka akan mudah terbakar. Akibatnya dedaunan busuk dengan humus yang tebal, ranting dan dahan yang kering lekang sehingga dengan pemantik kecil saja kawasan ini segera terbakar.
Keadaan hutan yang sudah longgar, pohon-pohon besar dan kecil ditebang dan tidak ada regenerasi berdampak pada perairan terutama anak-anak sungai akan banjir besar dan menerima debit air yang melebihi kapasitas normal. Sungai yang dahulunya tidak bisa meluap dan begitu bersahabat sekarang sebaliknya, seperti banjir di Martapura, Kabupaten Banjar tahun 2006. Sedangkan di musim kemarau persediaan air sangat kurang.
Fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukit dan pegunungan di Kalimantan sudah kurang fungsinya sebagai penahan air agar secara perlahan-lahan mengalir ke muara sungai. Yang kita khawatirkan jika musim hujan tiba dengan curah hujan sangat tinggi yang merupakan siklus sepuluh tahunan maka air akan tertumpuk di daerah muara tepatnya di daerah Banjarmasin dan Barito Kuala. Genangan air ini bisa bertahan lama 1 sampai 2 minggu atau lebih karena arus air ke muara tertahan pasang surut sedang kiriman air dari hulu sungai martapura terus berlangsung apalagi di muara juga terjadi hujan.